Mengulik Novel Sisi Tergerlap Surga karya Brian Khrisna
IDENTITAS BUKU
SINOPSIS
Novel karya Brian Khrisna cukup berani mengangkat realita dari balik indahnya kota Jakarta, di balik megahnya kota metropolitan dengan gedung-gedung tinggi, gemerlap cahaya sudut kota yang sering mereka sebut surga terdapat sebuah sisi gelap kota yang kerap luput dari pandangan mata. Di sebuah sudut kota, tersembunyi perkampungan yang dihuni oleh manusia-manusia figuran yang tersisih. Mereka adalah jiwa-jiwa yang kehilangan semangat juang, tertindas oleh kerasnya kehidupan. Dalam keterpurukan, mereka hanya mampu menyerahkan diri pada nasib. Novel Sisi Tergelap Surga karya Brian Khrisna, terbitan Gramedia Pustaka Utama dan telah dibaca jutaan pembaca, menyingkap realitas kehidupan orang-orang terpinggir yang berjuang untuk hidup hari esok.
Jakarta, sering kali dipandang sebagai kota dengan penuh kemegahan dan dianggap lebih maju dari kota-kota lainnya. Dalam pandangan banyak orang, segala hal tampak lebih mudah untuk didapatkan ketika tinggal di Jakarta. Persepsi ini begitu kuat sehingga menjadikan Jakarta sebagai tujuan utama bagi mereka yang ingin mengadu nasib, mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Kota ini seolah menjadi surga dunia bagi orang-orang luar, tempat di mana banyak orang datang dengan sekoper harapan, siap menghadapi segala tantangan demi mencapai impian mereka. Namun, dibalik citra gemerlapnya, keindahan Jakarta tak lain hanyalah fatamorgana yang menyesatkan mata. Kota ini, layaknya seorang Ibu tua, renta dan penuh luka. Infrastruktur yang menua, kemacetan lalu lintas yang tak kunjung terurai, banjir, polusi serta permasalahan sosial seperti kemiskinan dan pengangguran menjadi gambaran nyata yang tak bisa diabaikan. Jakarta, yang sering digambarkan dalam bayangan megah dan penuh peluang, pada kenyataannya adalah kota dengan banyak keterbatasan dan masalah.
Elemen Struktur Novel
Fakta Cerita
Alur
Alur yang digunakan Brian Khrisna dalam novel Sisi Tergelap Surga menggunakan alur campuran. Alur mundur digunakan untuk menggambarkan kehidupan perkampungan sebelum Pak RT meninggal dunia yang begitu besar jasanya dalam membangun perkampungan ini menjadi lebih baik hal tersebut dapat terlihat dalam kutipan berikut.
Syamsuar terkekeh. “Bapakmu melakukan itu juga ada alasannya. Preman yang memegang terminal sebelum Tomi itu jauh lebih bejat kelakuannya. Setelah memutar otak, bapakmu memutuskan mengajak Tomi bekerja sama. Kalau Tomi berhasil memenangkan tender, dia bakal dibiarkan memegang terminal menggantikan bosnya. Tapi ada syaratnya, terminal harus dibenahi. Diberi lampu, tidak menjadi tempat berkumpulnya para copet. Terminal harus bersih, tidak ada lagi pemalakan, banci tidak boleh lagi mangkal di sana. Pokoknya penumpang harus merasa aman, dan para pengangguran di kampung harus dipekerjakan di sana. Tomi pun setuju.” (Khrisna, 2024: 235).
Alur mundur yang digunakan dalam novel tersebut memberikan benang merah tentang awal mula perkampungan ini bergerak lebih baik dari sebelumnya. Meskipun dalam novel ini tokoh Pak RT tidak terlalu dominan akan tetapi sering bersinggungan langsung dan selalu dibicarakan antar tokoh. Kemudian penggunaan alur maju yang digunakan memberikan kesan bahwa kehidupan yang dilalui antar tokoh terus berjalan kedepan perjalanan menuju kehidupan yang lebih maju, hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut.
Cerita paling manis lahir dari rumah paling sempit di kampung itu; rumah Pak Badut. Sobirin si tukang tahu sampai sekarang masih begitu bangga karena dulu anak-anak Pak Badut setiap hari Minggu menumpang nonton acara kartun di rumahnya. Tomi yang wajahnya mulai menua selalu geleng geleng penuh gembira, seakan uang jajan tak seberapa darinya dulu punya andil dalam segala pencapaian yang anak-anak itu torehkan sekarang. Gofar, mantan curanmor yang sekarang menjabat teknisi di salah satu bengkel, selalu berkaca-kaca tiap melihat ketiga anak itu pulang ke kampung ini (Khrisna, 2024:294).
Ibu Gofar sudah meninggal, tapi tempat peristirahatan terakhirnya dibuat dengan apik menggunakan batu pualam yang indah. Dari mana uangnya? Dibiayai anak-anak Pak Badut yang dulu sering ia beri makan. Rumah Gofar sudah diperbaiki. Tidak ada lagi bata yang bopeng, tidak ada lagi genting bocor. Apa yang Gofar tanam dulu pada ketiga anak- anak itu, sekarang kembali dalam bentuk yang luar biasa (Khrisna, 2024:294).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa kehidupan yang dilewati antar tokoh menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Segala kebaikan para tokoh yang tanamkan, baik melalui bantuan materi maupun dukungan emosional, kembali kepada mereka dalam bentuk yang lebih besar dan tanpa mereka duga sebelumnya.
Tokoh dan Penokohan
Sobirin : Seorang penjual tahu kuning, setiap pagi berjualan di pasar. Memiliki karakter baik, tegar, berusaha tabah meskipun beberapa kali ia terjatuh menangis karena rasa bersalah yang begitu amat mendalam sejak kepergian anak semata wayangnya, dan suka memberi.
Nunung : Istri Sobirin, setiap hari bekerja sebagai penjual tahu jablay di rumah, baik, ramah, dan suka memberi.
Yuyun : Perempuan yang terpaksa menikah karena stigma negatif masyarakat perkampungan kumuh di pinggir kota itu, menjadi perawan tua berarti menjadi orang paling haram dan hina. Memiliki watak acuh tak acuh dan menjalani kehidupan tanpa semangat.
Rini : Pekerja PSK, pernah mengalami pelecehan menjadikan Rini tumbuh menjadi pribadi yang di luar tampak tegar akan tetapi di dalam terlihat rapuh.
Syamsuar: Mantan bandar judi togel yang sekarang bekerja sebagai penjual nasi goreng, berkat kebaikan pak RT yang mengajari resep nasi goreng tersebut. Baik hati, memiliki sedikit dendam dan penyesalan karena selepas dirinya keluar Pak RT lebih dahulu meninggalkan menghadap Tuhan.
Gofar : Rapuh, penyayang, baik hati, segala cara ia lakukan untuk mencari uang entah halal atau haram. Maling motor ia lakukan guna untuk kebutuhan berobat ibunya yang sakit stroke.
Brian : Pekerja biro travel, memiliki kepribadian rapuh, baik akan tetapi memiliki sifat pemarah
Ujang : Anak Julaeha, anak kecil yang sangat menyayangi ibunya meskipun Julaeha selalu memukulnya. Penyayang dan pintar.
Esih : Anak Haji Harun, tumbuh di kalangan agama yang kuat membuatnya selalu menilai rendah profesi orang-orang di kampungnya. Menganggap dirinya paling suci diantara orang-orang kampungnya dengan pekerjaan kotor yang dijalankan. Namun dibekali nilai-nilai agama sejak dari kecil tak membuatnya kuat dari godaan setan tanpa sepengetahuan orang tuanya ia diam-diam hamil di luar nikah.
Danang : Sosok pria yang diidam-idamkan oleh semua wanita di kampung. Meskipun memiliki citra yang baik di mata masyarakat, ia menjalani kehidupan ganda sebagai banci (pekerja seks), pekerjaan haram ia lakukan demi membiayai kuliah adiknya.
Resti : Lulusan sarjana teknik pangan, hidupnya berubah sejak menikah, sangat kekurangan karena suaminya tidak bekerja dan hidup dengan penuh tekanan batin.
Tomi : Pemimpin preman pasar, pemarah, ringan tangan namun berkatnya ia menjadi sosok yang melindungi kampung itu dari begal, maling dan sebagainya.
Dewi : Istri Tomi, pasrah hubungan yang mungkin penuh tekanan dan dominasi dari suami, Tomi.
Kuncahyo : Pegawai OB mall, sederhana meskipun setiap pulang ia sedikit tertekan dengan pekerjaannya akan tetapi ia tetap bertahan karena menjadi tulang punggung menghidupi keluarganya di Kampung.
Bu RT : Sosok ibu yang penuh kasih sayang, kesedihan masih dirasakan sejak ditinggal pergi suaminya karena semua kehidupan mendadak berubah dan yang ia rasakan kekosongan batin.
Tikno : Anak Pak RT dan Bu RT, setelah ditinggalkan Pak RT ia berubah menjadi sosok anak yang nakal, tidak berperasaan dan selalu mabuk-mabukan.
Tante Batak : Baik hati, tak banyak bicara dan setiap pagi selalu memberi makan kucing jalanan.
Karyo : Manusia silver, memiliki semangat hidup tinggi, tegar dan selalu bertahan.
Jawa: Pengamen jalanan, tertutup dan banyak menyimpan luka karena adiknya yang dijual Bapaknya sendiri.
Pulung : Pemulung, memiliki semangat hidup tinggi, tegar dan hidup dengan penuh kesederhanaan.
Juleha : bekerja sebagai PSK, atau kupu-kupu malam, Ibu Ujang, pemarah, acuh tak acuh, namun dibalik semua itu ia sangat menyayangi anak semata wayangnya.
Pak Badut : Bekerja sebagai Badut Ayam, bekerja keras, rapuh dan selalu berserah diri kepada Tuhan.
Ratih : Anak pertama Pak Badut, tegar, tahan banting dalam menghadapi cobaan, penyayang, kreatif dan mengayomi kedua adiknya.
Erlin : Anak kedua Pak Badut, tegar, tahan banting dalam menghadapi cobaan, penyayang.
Ina : Anak bungsu Pak Badut dan paling kecil, tegar, tahan banting dalam menghadapi cobaan, penyayang dan ceria.
Latar
Latar dalam sebuah novel mencakup waktu, tempat, dan suasana dimana cerita terjadi. Elemen ini memainkan peran penting dalam membentuk konteks dan atmosfer cerita, serta memengaruhi perkembangan plot dan karakter.
Latar Tempat
Perkampungan Kumuh Pinggir Kota Jakarta
Di megahnya kota metropolitan yang sering mereka sebut surga itu, terdapat sebuah sisi gelap perkampungan kota yang diisi orang-orang serupa tikus got di musim penghujan. Serupa borok di tubuh yang sehat. Atau serupa selulit di paha yang selalu ingin orang tutupi. Sisi para manusia-manusia figuran yang terbuang. Yang kehilangan semangat juang. Yang tertindas. Yang hanya bisa pasrah (Khrisna, 2024:21).
Rumah Resti
Dari rumah nomor 43, Resti keluar dengan langkah pelan. Tanpa bedak, apalagi gincu. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, ia ikat sembarangan. Dasternya juga itu-itu saja. (Khrisna, 2024: 24).
Rumah Pak Badut
Cerita paling manis lahir dari rumah paling sempit di kampung itu; rumah Pak Badut. Sobirin si tukang tahu sampai sekarang masih begitu bangga karena dulu anak-anak Pak Badut setiap hari Minggu menumpang nonton acara kartun di rumahnya. (Khrisna, 2023).
Rumah Gofar
“Assalamualaikum.” Gofar membuka pintu rumahnya. Hari ini terpaksa pulang saja dulu untuk merawat ibu yang tak bisa beranjak dari tempat tidur karena stroke (Khrisna, 2024:165).
Rumah Sobirin
Rumah kecil itu menjadi sepi lagi. Tidak ada suara anak - kecil selepas Ujang diantar pulang oleh Sobirin. Di kursi bambu di teras, Nunung duduk menunggu motor suaminya datang (Khrisna, 2024 :243).
Warung Tenda Syamsuar
Kuncahyo masuk ke warung tenda sambil mengelap keringat dengan lengan kemejanya sendiri (Khrisna, 2024:17).
Pos Ronda
DI POS ronda, Jawa dan Karyo sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Jawa memainkan musik fals di gitar yang penuh stiker band-band pop rock yang ia sendiri tak pernah dengar lagunya (Khrisna,2024:59).
Terminal
Mereka mampir sebentar di warung yang terletak di sebelah WC umum terminal, sekadar untuk melepas dahaga setelah perjalanan panjang yang gerah di antara orang-orang di dalam bus yang juga sedang menjudikan nasibnya ke ibu kota (Khrisna, 2024:49).
Latar Waktu
Waktu Azan menunjukkan waktu siang menuju sore hari
MESKI AZAN Asar telah berkumandang ke seluruh penjuru kampung, tangan kasar itu masih asyik saja berpindah dari satu nada ke nada lain (Khrisna, 2024: 41).
Waktu subuh menandakan hari mulai pagi
Selepas subuh, selain doa tulus yang dipanjatkan Nunung, nyawa Gugum turut melayang menuju langit. Membawa hasrat hidup, kekuatan, dan harapan-harapan Sobirin. Yang kelak membuat Sobirin menjadi seonggok mayat hidup dalam menjalani hari demi hari. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun (Khrisna, 2024: 33).
Waktu Pagi hari menandakan segala aktivitas yang dilakukan warga
Di kampung itu, pagi hari berarti bertahan hidup sekali lagi. Beberapa ada yang berangkat bekerja, ada juga yang justru baru pulang kerja (Khrisna, 2024: 24).
Jam setengah sebelas menandakan malam hari
PUKUL setengah sebelas malam, Brian masih terpaku di hadapan komputer. Matanya lurus menatap ke monitor. Beberapa kancing kemejanya dibuka karena kegerahan (Khrisna, 2024:198).
Latar Suasana
Suasana sedih dirasakan Gofar setelah menemukan secarik kertas yang ditulis Ibunya
Air mata Gofar mengalir deras. Bukan karena nyeri di kakinya yang terluka, melainkan karena ribuan jarum tak kasatmata yang menembus dadanya. Gofar sesenggukan hebat. Ia berbalik dan langsung memeluk ibunya (Khrisna, 2024:287).
Suasana menegangkan, pertengkaran antara Brian dan Pak Lurah ayahnya sendiri
"Anak dajal! Kamu yang harusnya pergi dari rumah ini!" Ucapan itu membuat Brian kembali mengamuk dan hampir saja terlepas dari dekapan tiga orang yang menahannya. Situasi yang kacau dan tetangga yang sudah berkerumun di depan terpaksa membuat Pak Lurah mundur dahulu. Ia pergi entah kemana, meninggalkan istri dan anaknya sendirian di rumah itu (Khrisna, 2024:245).
Rasa haru Pak Badut mengingat perjuangannya dulu dalam membesarkan ketiga anaknya
“Kamu berhasil.”
Bapak memeluk kostum ayam itu erat sambil menangis hebat. Meski sudah berkecukupan, Bapak tidak pernah sekali pun mau membuangnya. Kostum itu masih terlipat rapi di dalam lemari tua, sebagai saksi bisu atas kerasnya hidup yang harus ia lalui dulu dan sebagai alasan utama bagaimana sukses hidup anak-anaknya (Khrisna, 2024:299).
Rasa bahagia terasa ketika kegiatan pagi hari di perkampungan itu
MINGGU pagi adalah hari paling menggembirakan untuk anak-anak di kampung kota itu. Seruan riang menyelimuti udara seperti halnya embun pagi. Wangi rinso dari pakaian yang baru dijemur serta teriakan ibu-ibu ketika menyuapi anaknya sarapan menjadi musik terindah di tempat tersebut (Khrisna, 2024: 241).
Rasa hampa yang dirasakan Sobirin, anak semata wayangnya pergi terlebih dahulu meninggalkan perih yang begitu mendalam
Hanya ada suara detak jam dinding dan suara kertas koran yang Sobirin bolak-balikkan di teras rumahnya malam itu. Sudah beberapa tahun lewat sejak kepergian Gugum, dan lukanya masih terasa sangat nyata dan perih (Khrisna, 2024:40).
Tema
Tema yang diangkat dalam novel Sisi Tergelap Surga adalah tema sosial yang membuka realita baru tentang kehidupan di ibu kota dengan mengungkap 18 cerita masyarakat pinggiran yang hidup dalam kondisi marginal. Novel ini menggambarkan sisi gelap Jakarta melalui kisah-kisah nyata tentang perjuangan, ketidakadilan, dan ketahanan para penduduk yang berada di lapisan bawah masyarakat, memberikan pandangan mendalam tentang kerasnya kehidupan di balik gemerlapnya kota Jakarta.
Sarana Cerita
Judul
Novel ini memiliki judul Sisi Tergelap Surga terbitan pertama kali oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama 2023 dan telah melakukan cetakan keempat pada Maret 2024.
Sudut Pandang
Novel Sisi Tergelap Surga menggunakan sudut pandang ketiga dia mahatahu (third-person-omniscient) karena sudut pandang ini memungkinkan penulis untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang berbagai karakter dan peristiwa dalam cerita. Sehingga penulis secara penuh memiliki kebebasan dalam menyusun cerita yang kompleks, kaya, dan mendalam, sambil memberikan pembaca wawasan yang lebih luas tentang dunia cerita dan karakter-karakternya.Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
Resti pergi mengambil air wudu. Ia berjalan pelan ke ruang tamu, menggelar sajadah, lalu menangis dalam salatnya. Tak tahu lagi harus ke mana ia meminta pertolongan (Khrisna, 2024:160).
“OI, BANG DANANG!” Karyo berteriak seraya melam- baikan tangan dari pos ronda. Ia langsung bangkit dan menepuk pundak kedua temannya agar segera menghampiri Danang. Dengan sopan, ketiga remaja itu menyalami Danang. Bahkan Karyo menempelkan punggung tangan Danang ke keningnya seperti tengah menyalami ayahnya sendiri (Khrisna, 2024:113).
Kelebihan
Kelebihan dari novel Sisi Tergelap Surga karya Brian Khrisna lebih banyak menonjolkan dalam hal orisinalitas karena keberaniannya untuk mengeksplorasi tema-tema yang seringkali diabaikan dalam sastra mainstream. Menghadirkan perspektif baru tentang Jakarta, tidak hanya sebagai pusat ekonomi dan politik, tetapi juga sebagai tempat di mana banyak impian hancur dan kehidupan dijalani dengan penuh perjuangan, sisi gelap Jakarta yang banyak sekali diabaikan kebanyakan orang. Pendekatan penulis dalam memaparkan kisah-kisah individual yang saling terhubung oleh benang merah kehidupan keras di Jakarta memberikan sentuhan orisinalitas yang kuat. Kebaruan ini terletak pada cara Brian Khrisna menggabungkan realisme sosial dengan narasi yang emosional dan penuh empati. Brian Khrisna melakukan berbagai banyak wawancara untuk mendukung dan menyingkap kerasnya kehidupan Jakarta. Tidak hanya mendengarkan cerita mereka, tetapi Brian juga 'meresapi' hidup seperti mereka.
Brian Khrisna menyoroti perasaan keterasingan dan kesepian yang dialami banyak orang. Jakarta, dengan segala kontradiksinya, menjadi latar yang sempurna untuk menggambarkan kompleksitas emosional dan psikologis. Novel ini adalah cerminan kehidupan banyak orang di kota besar yang sering kali tersembunyi di balik gemerlapnya kehidupan metropolitan. Novel Sisi Tergelap Surga karya Brian Khrisna menyajikan perspektif baru dan mendalam mengenai kehidupan di Jakarta, kota yang sering dilihat sebagai lambang kemegahan dan harapan. Sisi Tergelap Surga merupakan sebuah karya yang tidak hanya menggambarkan realitas kehidupan di Jakarta secara jujur dan berani, tetapi juga mengangkat nilai-nilai kemanusiaan, moral, dan agama yang mendalam.
Novel Sisi Tergelap Surga karya Brian Khrisna memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari karya-karya lainnya diantaranya yakni fokus pada karakter-karakter yang sering kali dianggap figuran dalam masyarakat, seperti pemulung, pengamen, pramuria, pemimpin culas, dan lainnya. Masing-masing tokoh membawa cerita dan perjuangan hidupnya sendiri, memberikan pandangan yang lebih luas tentang kehidupan marginal di kota besar. Setiap tokoh digambarkan memiliki kepribadian dan latar belakang yang unik, yang menggambarkan keragaman manusia dan kompleksitas hidup mereka. Dengan latar belakang Jakarta dan masalah-masalah urban yang diangkat, novel ini sangat relevan dengan kondisi sosial dan ekonomi yang dihadapi banyak kota besar di Indonesia dan di seluruh dunia.
Kekurangan
Dari banyaknya kelebihan yang ada dalam novel Sisi Tergelap Surga karya Brian Khrisna juga memiliki beberapa kekurangan, seperti penggunaan bahasa yang vulgar dan penjelasan yang terlalu eksplisit, butuh bagi para pembaca untuk lebih bijaksana dalam memahaminya secara positif. Oleh karena itu, novel ini disarankan untuk pembaca berusia 17 tahun ke atas.
Komentar
Posting Komentar